PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kaidah fiqhiyah dan Kaidah ushuliyyah
merupakan asas-asas atau aturan-aturan dalam ilmu fiqh yang perlu diketahui
secara umum oleh umat Islam, terutama bagi mereka yang ingin mendalami ilmu
fiqh serta para mujtahid. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang
belum mengerti sama sekali apa itu kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah.
Kaidah
fiqhiyah dan kaidah ushuliyah itu sangat penting karena merupakan alat untuk
menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Sedangkan kaidah ushuliyah itu sendiri merupakan modal utama
memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum
semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Dengan
mengetahui dan memahami kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah
dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
Maka dari itu, kami selaku penyusun
mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqhiyah dan kaidah – kaidah
ushuliyah.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah pengertian kaidah fiqhiyah dan kaidah
ushuliyyah?
2. Apa
metode yang dipakai untuk merumuskan kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyyah?
3. Ada
berapa macam kaidah fiqiyah dan kaidah ushuliyyah?
4. Apa
perbedaan dan persamaan antara kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyyah?
5. Apa
tujuan mempelajari kaidah fiqiyah dan ushuliyyah?
6. Apakah
hubungan antara Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh,
dan Qawaid Fiqhiyah?
C. TUJUAN
PENULISAN
Makalah
ini disusun bertujuan agar umat Islam lebih mengetahui, memahami, dan mengerti mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan kaidah fiqhiyah dan ushuliyah. Mulai dari pengertian dari kaidah - kaidah tersebut, metode
perumusan kaidah-kaidah beserta kitab-kitab sumbernya, macam - macamnya ,
contoh-contoh yang termasuk dalam kaidah, dan perbedaan ataupun persamaan antara
kaidah – kaidah fiqhiyah dan kaidah – kaidah ushuliyah, serta tujuan dari
pembelajaran kaidah fiqhiyah dan ushuliyyah itu sendiri . Sebagai tambahan,
diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat membantu orang-orang yang ingin
mendalami hukum-hukum fiqih, terutama bagi kalangan mujtahid.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah
Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah
Kaidah
berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa Arab, kaidah bisa diterjemahkan
sebagai qaidah atau qawaid (dalam bentuk jamak) . Kaidah juga bisa diartikan
al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’
(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Menurut tinjauan terminologi,
kaidah punya beberapa arti. Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami,
menyatakan bahwa kaidah adalah :
”Kaum
yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i
yang banyak”.
Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum
yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Arti fiqh secara etimologi lebih
dekat dengan ilmu. Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari
dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Kaidah
fiqhiyah adalah kaidah atau teori yang di rumuskan oleh ulama fiqh yang
bersumber dari syari’at dengan di dasarkan pada asas dan tujuan pensyari’atan.
Kata kaidah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah da fiqhiyah.
Kata
fiqhiyah berasal dari fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti
hukum-hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan mukallaf yang di keluarkan
dari dalil nya yang terperinci. Pengertian kaidah fiqhiyah dalam susunan kata
sifat dan yang di sifati, berarti ketentuan aturan yang berkenan dengan
hukum-hukum fiqh yang di ambil dari dalil-dalil terperinci.
Menurut Prof.Hasbi Ash Shiddiqy, kaidah
fiqhiyah itu adalah kaidah-kaidah yang bersifat kully yang di ambil dari
dalil-dalil kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy
syar’iy) pada mukallaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan
hikmah-hikmahnya.
Tujuan
pensyari’atan adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak kemadharatan.
Kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah
dasar yang di pakai oleh ulama ushul berdasarkan makna dan tujuan ungkapan yang
telah di tetapkan oleh para ahli bahasa.
Itulah
sebagian ulama menyebutkan kaidah ushuliyah sebagai kaidah bahasa karena
umumnya dibangun berdasarkan logika bahasa. Adapun termasuk dalam kaidah
ushuliyah yakni kaidah perantara. Hal ini karena tidaklah logis bila suatu
perbuatan diwajibkan sedangkan perantaranya dilarang, atau sebaliknya, suatu
perbuatan dilrang sedangkan perantaranya diperbolehkan.
B. Metode Perumusan
Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah
a.
Kaidah Fiqhiyah
Ada dua metode yang dijadikan dasar
pengambilan kaidah fiqhiyah, yaitu dasar Formil dan dasar Materiil. Dasar
formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan kaidah
fiqhiyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai
sumber motivasi penyusunan kaidah fiqhiyah. Adapun dasar materiil maksudnya
darimana materi kaidah fiqhiyah itu dirumuskan.
1. Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam
untaian satu kaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar
nash, baik dari alquran maupun sunnah. Seperti dari Firman Allah pada surat al
Bayyinah yang artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian Itulah agama yang lurus.[22]
Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:[23]
انما
الأ عما ل با لنيات
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada
niatnya”.
Diistimbatkan hukum melakukan niat
untuk setiap perbuatan ibadah. Karena persoalan niat juga mempunyai arti
penting dalam soal-soal lain, maka dirumuskannya kaidah fiqhiyah:
الامور
بمقا صد ها
“Setiap perkara tergantung kepada
maksud mengerjakannya”
Jadi perumusan kaidah fiqhiyah itu
berdasarkan pada Alquran dan Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksanaan
istinbath dan ijtihad.
2. Dasar materiil
Adapun dasar materiil atau tegasnya
bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya nash hadis,
seperti kaidah yang berbunyi:
الضرر
يزال
“Kemadlaratan itu harus
dihilangkan”
Kaidah ini berasal dari hadis
Nabi Muhammad SAW:[26]
لا
ضرر ولا ضرار (رواه ابن ما جه
“Tidak boleh membuat mudlarat diri
sendiri dan tidak boleh memudlaratkankan orang lain”.
Kaidah yang berasal dari hadist
tersebut berlaku untuk semua lapangan hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat
maupun jinayat. Disamping kaidah fiqhiyah yang dirumuskan dari lafadh hadis,
seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa kaidah fiqhiyah itu hasil
perumusan ulama yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.
Banyak kitab yang dihasilkan oleh
para ilmuwan Islam yang membahas mengenai Qawa’id Fiqhiyah. Diantanya adalah
dari kalangan 4 mazhab terkenal.
Enam karya dari kalangan
madzhab Hanafi antara lain :
a) Usuul al-Karkhi karya cUbaidullah ibn Hasan al-Karkhi (260-340 H)
b) Ta’siis al-Nadzr karya al-Qadhi, cUbaidullah ibn cUmar
ad-Dabusi (430 H)
c) Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim (970 H)
d) Majaamic al-Haqaa’iq yang ditulis oleh Abu Sa cid
al-Khadimi. ( 1176 H),
e) Al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah oleh Komite ‘Ulama Daulah cUsmaniyyah
(1286 H), dan
f) Al-Faraa’id al-Bahiyyah fi al-Qawaacid al-Fawaa’id
al-Fiqhiyyah karya
Ibn Hamzah al-Husaini (1305 H).
Diantara
keenam karya tersebut, Majallah al-Ahkaam
al-cAdliyyah merupakan satu-satunya karya yang ditulis
oleh sebuah tim yaitu para ‘Ulama yang ditunjuk oleh Pemerintah Daulah
Usmaniyah di Turki. Majallah
al-Ahkaam al-cAdliyyah terdiri dari 99 qawa’id ditambah dengan
sebuah pendahuluan, yang tersusun dalam 1851 ayat.
Ushuul Al-Karkhi memuat 36 qawa’id
yang menurutnya disebut qawa’id al-Asl atau qawa’id asal, yang kemudian diberikan komentar atau syarah
oleh Najmuddin an-Nasafi yang juga dari madzhab Hanafi. Sementara itu, karya
Ibnu Nujaim, Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir, merupakan sebuah
karya yang masyhur dari kalngan madzhab Hanafi. Karya ini terdiri dari 6 (enam)
qawa’id dasar (qawa’id al-asasiyyah)—5 (lima)
diantaranya juga dimuat dalam al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah ayat-ayat 2, 4, 17, 21 dan 36—ditambah dengan
19 (sembilan belas) qawa’id cabang
atau al-furu’iyyah. Karya Ibnu Nujaim ini juga mendapat tanggapan luas dari
berbagai kalangan madzhab Hanafi, dengan ditulisnya beberapa ulasan atau
komentar para fuqaha terkemudian, empat diantaranya adalah:
a) Tanwiir al-Bashaa’ir calal-Asybaah
wan-Nazhaa’ir (1005
H) oleh cAbdul-Qadir Sharif
uddin al-Ghazzi;
b) Ghamzu cUyuun al-Bashaa’ir Syarh al-Asybaah
wan-Nazhaa’ir (1098 H) oleh Ahmad ibn Muhammad al-Hamawi;
c) cUmdatu
dzawil-Basyaa’ir li-Halli Muhtamaati al-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1099H.) karya Ibrahim ibn Hussain, yang lebih
dikenal sebagai Ibnu Biri al-Makkati.
d)
cUmdatu an-Naadzir cala al-Asybaah
wan-Nazhaa’ir oleh Abu Su cud al-Husaini.
Dari
mahdzhab Maliki, beberapa ulama juga menyumbangkan tulisan tentang qawa’id
fiqhiyyah. Karya dari kalangan madzhab Maliki tidak sebanyak dari madzhab
Hanafi dan Syafii. Karya-karya tersebut antara lain adalah:
a) Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuuq; Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; atau
Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah oleh al-Imam Syihabudin cAbdul-Abbas
Ahmad as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
b) Al-Qawaacid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri (758 H);
c) Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya ibn Muhammad at-Tilmisani
al-Winsyarinsi (914 H);
d) Al-Iscaaf bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab karya as-Syaikh Abul-Qasim ibn Muhammad at-Tiwani (
995 H)
Karya
terakhir, at-Tiwani, al-Is’aaf, diulas dengan sajian ringkas oleh setidaknya Abul-Hasan cAli
ibn Qasim al-Zaqqaq, al-Fasi, at-Tujibi dalam al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab (912 H), dan dikomentari oleh Ahmad ibn cAli
al-Fasi al-Maghribi
Sementara
itu madzhab Syafii paling banyak memberikan kontribusi qawa’id fiqhiyyah dalam
khazanah fiqh Islam. Pengaruhnya di Indonesia juga cukup meluas, utamanya karya
salah seorang faqih besar seperti Jalaludin as-Suyuti yang menulis al-Asybaah wan-Nazhaa’ir dalam beberapa jilid. Jilid 1 berisi tentang
qawa’id dasar (asas) sebanyak lima buah sebagaimana yang disebutkan dalam al-Majallah di atas. Qawa’id ini juga cukup popular, bukan saja di indoneisa
melainkan juga di wilayah negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk Malaysia dan
juga di Timur Tengah. Di kalangan madzhab Syafii, kelima qawa’id ini dianggap
sebagai qawa’id yang utama. Kitab 2 al-Asybaah
wan-Nazhaa’ir berisi tentang
qawa’id umum (‘amm) sebanyak 40 qawa’id, sedang 20 qawa’id lagi masuk dalam
kategori diperselisihkan kedudukannya, termuat dalam Jilid 3 – 7.
Secara lengkap, karya-karya tentang qawa’id fiqhiyyah di kalangan
madzhab Syafii berdasarkan urutan sejarahnya antara lain adalah:
a) Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh cIzzuddin cAbdul cAziz
ibn cAbdus Salam (
577 - 660 H);
b) Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi cAbdullah ibn
Murahhil, Ibn Wakil al-Syafi ci (716 H);
c) Majmuuc al-Mudzhab fil-Qawaacid al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa cid al-cAla’i
as-Syafi ci (761 H);
d) Al-Asybaah wa al-Nazhaa’ir oleh cAbdul-Wahhab ibn cAli Tajuddin as-Subki (771
H);
e) Al-Manthuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah aw
al-Qawaacid fi al-Furuuc
oleh Muhammad ibn Bahadur Badruddin
az-Zarkashi (794 H);
f) Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin cUmar ibn cAli
al-Ansari, yang lebih terkenal dengan pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
g) Al-Qawaacid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad ibn cAbdul-Mu’min,
al-Hisni (829 H);
h) Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin cAbdur Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad
as-Suyuthi (al-Asyuthi) (804 H); dan
i)
Al-Istighnaa’ fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr ibn
Sulaiman al-Bakri
Di atas
telah disinggung sedikit tentang karya as-Suyuthi, al-Asybaah wan-Nazhaa’ir,
yang cukup masyhudr di kalangan madzhab Syafi’i. Selain karya as-Suyuthi, kitab
Majmuu’ul Madzhab karya al-‘Alai jug amendapat perhatian para fuqaha
madzhab Syafii, seperti ulasan-ulasan yang diberikan dalam kitab Mukhtashar
al-Qawaacid al-‘Alai seperti oleh:
a) Al-‘Allamah as-Syarkhadi (792 H) yang
merupakan kombinasi dengan tulisan al-Isnawi untuk topik yang sama; dan
b) Al-‘Allamah ibn Khatib ad-Dahsyah yang
mengkombinasikan dengan kuliah-kuliah dari al-Isnawi
Di kalangan madzhab Maliki, terdapat
setidaknya lima kitab karya para fuqaha mulai dari pertengahan abad ke-7, sejak
karya Ibnu Taymiyyah hingga abad ke-14
Hijriyyah pada periode al-Qari. Mereka antara lain:
a) Al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu al-cAbbas Ahmad
ibn cAbd al-Halim ibn Taymiyyah (661 - 728 H);
b)
Al-Qawaacid al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-Hasan, ibn Qadhi
al-Jabal al-Maqdisi (771 H);
c) Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir al-Fawaa’id (al-Qawaacid) karya cAbdurrahman Shihab ibn Ahmad ibn
Abi Rajab (Ibn Rajab) al-Hanbali (795H);
d)
Al-Qawaacid al-Kulliyyah wa
al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771 H) karya Jamaluddin Yusuf ibn Hasan ibn Ahmad ibn cAbdul-Hadi
(1309-1359 H); dan
e) (Qawaacid) Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah calaa Madzhab
al-Imaam Ahmad ibn Hanbal oleh Ahmad ibn cAbdullah al-Qari (1309-1359 H)
b.
Kaidah Ushuliyyah
Qawa’id
Ushuliyyah atau Kaidah Ushuliyyah merupakan kaidah/bahasan sebagai metodologi
untuk memahami atau memperoleh hukum-hukum Syari’ah yang bersifat praktis dari
dalil-dalil yang rinci. Pokok bahasanya berupa dalil-dalil syara’ secara garis besar
yang didalamnya terkandung hukum-hukum secara garis besar pula. Banyak
digunakan pendekatan filosofis di dalamnya. Seperti : hakikat hukum Syari’ah,
sumber-sumber hukum, tujuan hukum, logika teks hukum, posisi manusia dalam
hukum, dsb. Ushul Fiqh merupakan bagian terbesar dalam filsafat hukum Islam.
Terdapat
tiga metode dalam penyusunan Ushul Fiqh, yaitu metode deduktif, metode
induktif, dan metode campuran.
Metode
deduktif (Mutakallimin) disebut sebagai metode kaum teolog. Metode ini
dikembangkan oleh Asy’ariyah dan Imam Syafi’i sehingga disebut juga metode
syafi’iyyah. Penerapkan teori-teori umum didasarkan atas dasar logika tanpa
memperhatikan apakah ia bertentangan dengan hukum-hukum furu’ (hukum fiqh pada
kasus-kasus tertentu) atau tidak. Dalam metode ini, apakah penetapan teori akan
menguatkan atau melemahkan furu’ tidak menjadi permasalahan.
Sebagian
besar ulama Syafi’iyah dan Malikiyah menulis dengan menggunakan metode
deduktif. Contoh kitab-kitabnya :
1. Al – Mu’tamad karangan Muhammad Husayn ibn Ali Bashriy
2. Al – Ta’rif wa al-Irsyad fi Tartib Turuq al-Ijtihad karangan Abu Bakar Muhammad al-Baqillani al-Maliki
3. Al – Burhan karangan Imam al-Haramyn
4. Al – Mustashfa karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i
5. Al – Ihkam fi Ushul al-Ahkam karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi’i
1. Al – Mu’tamad karangan Muhammad Husayn ibn Ali Bashriy
2. Al – Ta’rif wa al-Irsyad fi Tartib Turuq al-Ijtihad karangan Abu Bakar Muhammad al-Baqillani al-Maliki
3. Al – Burhan karangan Imam al-Haramyn
4. Al – Mustashfa karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i
5. Al – Ihkam fi Ushul al-Ahkam karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi’i
Metode
induktif (ahnaf) disebut sebagai metode kaum juris (Fuqaha) dimana
penetapan teori-teori umum didasarkan pada hukum-hukum furu’. Metode ini
dicetuskan oleh Imam Hanafi dengan jalan mengadakan induksi (istiqra’) terhadap pendapat-pendapat imam
sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka
pergunakan sehingga metode ini mengambil konklusi darinya.
Sebagian
besar ulama Hanafiyah menulis dengan menggunakan metode induktif. Contoh kitab-kitabnya
:
1. Ma’akhidz al-Syara’i karangan Abu Mansur al-Maturidi
2. Risalah al-Karkhi fi al-Ushul karangan Abu al-Hasan Ubaidillah
3. Ushul al-Jashash karangan Abu Bakar Ahmad
4. Kitab Zayd ‘Ubayd Allah ibn Umar
5. Kitab Syams al-A’immah ibn Ahmad al-Sarkhasyiy
1. Ma’akhidz al-Syara’i karangan Abu Mansur al-Maturidi
2. Risalah al-Karkhi fi al-Ushul karangan Abu al-Hasan Ubaidillah
3. Ushul al-Jashash karangan Abu Bakar Ahmad
4. Kitab Zayd ‘Ubayd Allah ibn Umar
5. Kitab Syams al-A’immah ibn Ahmad al-Sarkhasyiy
Sedangkan
metode campuran adalah metode gabungan antara dedukif dan induktif. Dalam
metode ini, penetapan teori-teori umum didasarkan pada logika sekaligus
memperhatikan hukum-hukum furu’.
Terdapat
beberapa kitab yang ditulis dengan pencampuran kedua metode
(deduktif-induktif). Diantaranya :
1. Badi’ al-Nidham karangan Ahmad bin Ali al-Baghdadi
2. Tanqih al-Ushul karangan Shadr al-Syari’at ‘Abd al-Wahhab
3. Kitab Al – Tahrir karangan Kamal al-Din
4. Kitab Jam’al al-Jawami karangan Taj al-Din ‘Abd al-Wahhab al-Subkiy.
1. Badi’ al-Nidham karangan Ahmad bin Ali al-Baghdadi
2. Tanqih al-Ushul karangan Shadr al-Syari’at ‘Abd al-Wahhab
3. Kitab Al – Tahrir karangan Kamal al-Din
4. Kitab Jam’al al-Jawami karangan Taj al-Din ‘Abd al-Wahhab al-Subkiy.
C. Macam-macam Kaidah
Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah
a.
Kaidah Fiqhiyah ada 5 macam, yaitu:
a).
Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan.
الأمور بمقاصدها “Segala urusan tergantung kepada tujuannya”.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ …{البينة : 5}
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya agama yang lurus …”
Sabda Nabi SAW :
انما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.
Tujuan utama disyari’atkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh :
Kita setiap hari mandi, namun apabila mandi itu diniati ibadah maka kita akan mendapatkan pahala. Sama hal-nya mengeluarkan harta untuk zakat apabila tidak dibarengi niat, maka nilai ibadahnya akan berkurang atau bahkan tidak ada.
الأمور بمقاصدها “Segala urusan tergantung kepada tujuannya”.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ …{البينة : 5}
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya agama yang lurus …”
Sabda Nabi SAW :
انما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.
Tujuan utama disyari’atkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh :
Kita setiap hari mandi, namun apabila mandi itu diniati ibadah maka kita akan mendapatkan pahala. Sama hal-nya mengeluarkan harta untuk zakat apabila tidak dibarengi niat, maka nilai ibadahnya akan berkurang atau bahkan tidak ada.
b). Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan.
اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Dasar Kaidahnya adalah, sabda Nabi Muhammad saw :
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ
حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا {روه مسلم}
Artinya : “Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya.”
Misalnya ada dua orang yang mengadakan utang piutang, dan keduanya
berselisih apakah utangnya sudah dibayar atau belum, sedang pemberi utang
bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka sumpah pemberi utang itu akan
dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin menurut kaidah diatas. Dan
hal itu dapat berubah jika yang utang dapat rnemberikan bukti – bukti baru atas
pelunasan utangnya.
c). Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan.
Kaidah
ini menjadi sumber adanya rukshah(kemurahan) dan takhfif (keringanan) dalam
melaksanakan tuntutan syari’at yang karena sebab atau keadaan tertentu sangat sulit untuk dilaksanakan, seperti;
karena sedang bepergian, sakit, terpaksa, lupa, kurang mampu, dan kesukaran
yang umum dialami.
لمشقة
تجلب التيسير “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw :
الدِّينُ يُسْرٌ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ {روه البخارى}
” Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah agama yang benar dan mudah “
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw :
الدِّينُ يُسْرٌ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ {روه البخارى}
” Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah agama yang benar dan mudah “
Firman
Allah SWT yang berarti : “Seorang hamba tidak dibebani sesuatu kecuali apa yang
sanggup untuk ditanggung”.
d). Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan.
اذا
ضاق الامر اتسع واذا اتسع الامر ضاق
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”.
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”.
Contoh
lain, Misalnya seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi
hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan
sebatas keperluannya.
Adapun
kaidah ini memiliki beberapa macam kaidah yaitu;
1. Keadaan
darurat itu membolehkan yang dilarang.
2. Sesuatu
yang dibolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratanya.
3. Kemadharatan
tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan yang sama.
4. Menolak
kerusakan harus didahulukan dari adamenarik kemaslahatan
5. Apabila
dua kerusakan saling berlawanan (bertemu), maka haruslah lebih diperhatikan
yang lebih besar madharatannya dengan melaksanakan yang lebih ringan
madharatannya dari keduanya.
e).
Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan.
العادة محكمة“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”.
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah
perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis,
tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada
“al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya dapat dijadikan
hokum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau hadits.
Contohnya : hukum syari’ah menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya dikembalikan pada kebiasaan.
Contohnya : hukum syari’ah menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya dikembalikan pada kebiasaan.
b.
Kaidah ushuliyah ada 2 macam :
a. Perintah
kepada suatu adalah perintah (juga) kepada perantaranya, da bagi perantara,
hukumnya sama dengan hukum yang dituju.
b. Menutup
jalan yang menuju ke perbuatan terlarang.
D. Perbedaan dan
Persamaan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar
antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas
tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah
yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah
membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah
membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:[10]
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:[10]
1. Qawaid ushuliyyah adalah
kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua
bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan
hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya.
Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2. Qawaid ushuliyyah atau ushul
fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar
dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi
melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode
melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu
berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah
menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara
qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau
kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian
qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3. Qawaid ushuliyyah sebagai
pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah.
Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh
yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan.
Tujuan adanya qawaid fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4. Qawaid ushuliyah ada sebelum
ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan
hukum (furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’
(fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang
serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5. Dari satu sisi qawaid
fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada
perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama
memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid
ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil
yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan
himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah
cakupannya semata.
E. Tujuan
Mempelajari Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah
Kaidah
fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah
merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid
al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan
persoalan esensial dalam satu persoalan.[14]
2. Dari segi istinbath
al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu
alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan
atau kepastian hukumnya.[15]
Abdul Wahab Khallaf dalam
ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum
terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi
dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan
prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yangkulli yang tidak
terbatas suatu cabang undang-undang.[16]
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka
perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang
berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok.
Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan
masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.[17]
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu
Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai
suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta
bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis
bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya
banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada
kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh
pengikutnya.
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk
mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid
fiqhiyah ialah:[19]
1. Dengan
mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum
fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi
titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2. Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi.
3. Dengan
mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam
waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4. Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6. Kaidah membantu menjaga dan menguasai
persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam
melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang berbakat fiqh
dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema
yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.
F. Hubungan
Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, dan Qawaid Fiqhiyah
Hubungan, Fiqh, Ushul Fiqh, Kaidah
Fiqh. Antara Fiqh dan Syari'ah
dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan
yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut umumun khususun min wajhin yakni: Fiqh identik dengan Syari'ah
dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain
Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid
yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup
hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah,
akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu. Syariah sangat lengkap, tidak hanya
berisikan dalil-dalil furu', tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip
dasar dari hukum syara, seperti: Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhyah.
Syari’ah lebih universal dari Fiqh.
Syari’ah wajib dilaksanakn oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib
mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian adanya. Syariah
seluruhnya pasti benar, berbeda
dengan fiqh. Syari'ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah. Ilmu fiqih adalah ilmu untuk
mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang
wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali
dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk
ilmu fiqh adalah “fiqh”, Produk kaidah-kaidah istinbath hukum dari
sumber-sumber hukum Islam yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.
Jika
kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah
fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah
tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah
ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah
merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga
kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah,
yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh
mengijtihadkan suatu hukum.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kaidah
fiqhiyah itu adalah kaidah-kaidah yang bersifat kully yang di ambil dari
dalil-dalil kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy
syar’iy) pada mukallaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan
hikmah-hikmahnya. Tujuan pensyari’atan adalah untuk merealisir kemaslahatan dan
menolak kemadharatan.
Kaidah
ushuliyah adalah kaidah-kaidah dasar yang di pakai oleh ulama ushul berdasarkan
makna dan tujuan ungkapan yang telah di tetapkan oleh para ahli bahasa. Itulah
sebagian ulama menyebutkan kaidah ushuliyah sebagai kaidah bahasa karena
umumnya dibangun berdasarkan logika bahasa. Adapun termasuk dalam kaidah
ushuliyah yakni kaidah perantara. Hal ini karena tidaklah logis bila suatu
perbuatan diwajibkan sedangkan perantaranya dilarang, atau sebaliknya, suatu
perbuatan dilrang sedangkan perantaranya diperbolehkan.
Dalam perumusanya, kaidah menggunakan 2 metode, yaitu materiil dan formil. Sedangkan kaidah ushuliyyah menggunakan 3 metode, yaitu deduktif,induktif dan campuran. Banyak terdapat kitab-kitab yang memuat kaidah-kaidah tersebut. Kaidah ushuliyyah merupakan dasar dari pembentukan kaidah fiqhiyah.
Dalam perumusanya, kaidah menggunakan 2 metode, yaitu materiil dan formil. Sedangkan kaidah ushuliyyah menggunakan 3 metode, yaitu deduktif,induktif dan campuran. Banyak terdapat kitab-kitab yang memuat kaidah-kaidah tersebut. Kaidah ushuliyyah merupakan dasar dari pembentukan kaidah fiqhiyah.
Kaidah
Fiqhiyah dan Ushuliyyah merupakan bagian dari ilmu fiqh yang perlu diketahui
dan dipelajari oleh umat Islam secara lebih lanjut terutama bagi yang ingin
memperdalam ilmu fiqh. Melalui pemahaman terhadap kaidah – kaidah tersebut,
kita dapat mengetahui aturan-aturan yang terkandung dalam hukum Islam dan
diharapkan mampu menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari.
B. SARAN
Kami
sadar bahwa kesempurnaan hanyalah milik ALLAH, oleh karena itu kami sangat
mengaharapkan saran dan kritik yang membangun agar kami bisa menjadikan saran
tersebut sebagai pedoman dikesempatan mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. Haji dkk, 2000. Ushul Fiqih
Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grasindo Persada, cet 1.
Jamaludin, Syakir, 2010. Kuliah Fiqih Ibadah,
Yogyakarta: Surya Sarana Grafika, cet 1.
Muchtar, Kamal dkk, 1995. Ushul Fiqih Jilid 2,
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Nata, Abudin, 2003. Masail Al-Fiqhiyah, Bogor:
Kencana, edisi 1.
Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Cet
ke-4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
hebat bu, ijin mengcopy
ReplyDelete