Saturday, April 20, 2013

KAIDAH FIQHIYAH DAN KAIDAH USHULIYYAH


PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Kaidah fiqhiyah dan Kaidah ushuliyyah merupakan asas-asas atau aturan-aturan dalam ilmu fiqh yang perlu diketahui secara umum oleh umat Islam, terutama bagi mereka yang ingin mendalami ilmu fiqh serta para mujtahid. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah.
Kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah itu sangat penting karena merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan kaidah ushuliyah itu sendiri merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Dengan mengetahui dan memahami kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. 
Maka dari itu, kami selaku penyusun mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqhiyah dan kaidah – kaidah ushuliyah.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.       Apakah pengertian kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyyah?
2.      Apa metode yang dipakai untuk merumuskan kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyyah?
3.      Ada berapa macam kaidah fiqiyah dan kaidah ushuliyyah?
4.      Apa perbedaan dan persamaan antara kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyyah?
5.      Apa tujuan mempelajari kaidah fiqiyah dan ushuliyyah?
6.      Apakah hubungan antara Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, dan Qawaid Fiqhiyah?


C.     TUJUAN PENULISAN

Makalah ini disusun bertujuan agar umat Islam lebih mengetahui, memahami, dan  mengerti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kaidah fiqhiyah dan ushuliyah. Mulai dari  pengertian dari kaidah - kaidah tersebut, metode perumusan kaidah-kaidah beserta kitab-kitab sumbernya, macam - macamnya , contoh-contoh yang termasuk dalam kaidah, dan perbedaan ataupun persamaan antara kaidah – kaidah fiqhiyah dan kaidah – kaidah ushuliyah, serta tujuan dari pembelajaran kaidah fiqhiyah dan ushuliyyah itu sendiri . Sebagai tambahan, diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat membantu orang-orang yang ingin mendalami hukum-hukum fiqih, terutama bagi kalangan mujtahid.

       














BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah
Kaidah berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa Arab, kaidah bisa diterjemahkan sebagai qaidah atau qawaid (dalam bentuk jamak) . Kaidah juga bisa diartikan al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
            Menurut tinjauan terminologi, kaidah punya beberapa arti. Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, menyatakan bahwa kaidah adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
            Arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu. Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Kaidah fiqhiyah adalah kaidah atau teori yang di rumuskan oleh ulama fiqh yang bersumber dari syari’at dengan di dasarkan pada asas dan tujuan pensyari’atan. Kata kaidah fiqhiyah terdiri dari dua kata yakni qa’idah da fiqhiyah.
Kata fiqhiyah berasal dari fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti hukum-hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan mukallaf yang di keluarkan dari dalil nya yang terperinci. Pengertian kaidah fiqhiyah dalam susunan kata sifat dan yang di sifati, berarti ketentuan aturan yang berkenan dengan hukum-hukum fiqh yang di ambil dari dalil-dalil terperinci.
Menurut Prof.Hasbi Ash Shiddiqy, kaidah fiqhiyah itu adalah kaidah-kaidah yang bersifat kully yang di ambil dari dalil-dalil kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’iy) pada mukallaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.
Tujuan pensyari’atan adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak kemadharatan.
Kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah dasar yang di pakai oleh ulama ushul berdasarkan makna dan tujuan ungkapan yang telah di tetapkan oleh para ahli bahasa.
Itulah sebagian ulama menyebutkan kaidah ushuliyah sebagai kaidah bahasa karena umumnya dibangun berdasarkan logika bahasa. Adapun termasuk dalam kaidah ushuliyah yakni kaidah perantara. Hal ini karena tidaklah logis bila suatu perbuatan diwajibkan sedangkan perantaranya dilarang, atau sebaliknya, suatu perbuatan dilrang sedangkan perantaranya diperbolehkan.

B. Metode Perumusan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah

a. Kaidah Fiqhiyah
Ada dua metode yang dijadikan dasar pengambilan kaidah fiqhiyah, yaitu dasar Formil dan dasar Materiil. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan kaidah fiqhiyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan kaidah fiqhiyah. Adapun dasar materiil maksudnya darimana materi kaidah fiqhiyah itu dirumuskan.
1.    Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari alquran maupun sunnah. Seperti dari Firman Allah pada surat al Bayyinah yang artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[22]

Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:[23]
انما الأ عما ل با لنيات
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya”.

Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Karena persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam soal-soal lain, maka dirumuskannya kaidah fiqhiyah:
الامور بمقا صد ها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”

Jadi perumusan kaidah fiqhiyah itu berdasarkan pada Alquran dan Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan ijtihad.
2.    Dasar materiil
Adapun dasar materiil atau tegasnya bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya nash hadis, seperti kaidah yang berbunyi:
الضرر يزال
“Kemadlaratan itu harus dihilangkan”

Kaidah ini berasal dari hadis Nabi  Muhammad SAW:[26]
لا ضرر ولا ضرار   (رواه ابن ما جه
“Tidak boleh membuat mudlarat diri sendiri dan tidak boleh memudlaratkankan orang lain”.
Kaidah yang berasal dari hadist tersebut berlaku untuk semua lapangan hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat maupun jinayat. Disamping kaidah fiqhiyah yang dirumuskan dari lafadh hadis, seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa kaidah fiqhiyah itu hasil perumusan ulama yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.
Banyak kitab yang dihasilkan oleh para ilmuwan Islam yang membahas mengenai Qawa’id Fiqhiyah. Diantanya adalah dari kalangan 4 mazhab terkenal.
Enam karya dari kalangan madzhab Hanafi antara lain :
a)      Usuul al-Karkhi karya cUbaidullah ibn Hasan al-Karkhi (260-340 H)
b)      Ta’siis al-Nadzr karya al-Qadhi, cUbaidullah ibn cUmar ad-Dabusi (430 H)
c)      Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim  (970 H)
d)     Majaamic al-Haqaa’iq yang ditulis oleh Abu Sa cid al-Khadimi. ( 1176 H),
e)      Al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah oleh Komite ‘Ulama Daulah cUsmaniyyah (1286 H), dan
f)       Al-Faraa’id al-Bahiyyah fi al-Qawaacid al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah karya Ibn Hamzah al-Husaini  (1305 H).

Diantara keenam karya tersebut, Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah merupakan satu-satunya karya yang ditulis oleh sebuah tim yaitu para ‘Ulama yang ditunjuk oleh Pemerintah Daulah Usmaniyah di Turki. Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah terdiri dari 99 qawa’id ditambah dengan sebuah pendahuluan, yang tersusun dalam 1851 ayat.
Ushuul Al-Karkhi memuat 36 qawa’id yang menurutnya disebut qawa’id al-Asl atau qawa’id asal, yang kemudian diberikan komentar atau syarah oleh Najmuddin an-Nasafi yang juga dari madzhab Hanafi. Sementara itu, karya Ibnu Nujaim, Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir, merupakan sebuah karya yang masyhur dari kalngan madzhab Hanafi. Karya ini terdiri dari 6 (enam) qawa’id dasar (qawa’id al-asasiyyah)—5 (lima) diantaranya juga dimuat dalam al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah ayat-ayat 2, 4, 17, 21 dan 36—ditambah dengan 19 (sembilan belas) qawa’id cabang atau al-furu’iyyah. Karya Ibnu Nujaim ini juga mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan madzhab Hanafi, dengan ditulisnya beberapa ulasan atau komentar para fuqaha terkemudian, empat diantaranya adalah:
a)      Tanwiir al-Bashaa’ir  calal-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1005 H) oleh  cAbdul-Qadir Sharif uddin al-Ghazzi;
b)      Ghamzu cUyuun al-Bashaa’ir Syarh al-Asybaah wan-Nazhaa’ir  (1098 H) oleh Ahmad ibn Muhammad al-Hamawi;
c)      cUmdatu dzawil-Basyaa’ir li-Halli Muhtamaati al-Asybaah wan-Nazhaa’ir (1099H.) karya Ibrahim ibn Hussain, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Biri al-Makkati.
d)     cUmdatu an-Naadzir  cala al-Asybaah wan-Nazhaa’ir oleh Abu Su cud al-Husaini.

Dari mahdzhab Maliki, beberapa ulama juga menyumbangkan tulisan tentang qawa’id fiqhiyyah. Karya dari kalangan madzhab Maliki tidak sebanyak dari madzhab Hanafi dan Syafii. Karya-karya tersebut antara lain adalah:
a)      Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuuq; Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; atau  Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah  oleh al-Imam Syihabudin cAbdul-Abbas Ahmad as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
b)      Al-Qawaacid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri  (758 H);
c)      Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya ibn Muhammad at-Tilmisani al-Winsyarinsi (914 H);
d)     Al-Iscaaf bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab karya as-Syaikh Abul-Qasim ibn Muhammad at-Tiwani ( 995 H)

Karya terakhir, at-Tiwani, al-Is’aaf, diulas dengan sajian  ringkas oleh setidaknya Abul-Hasan cAli ibn Qasim al-Zaqqaq, al-Fasi, at-Tujibi  dalam al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab (912 H), dan dikomentari oleh Ahmad ibn cAli al-Fasi al-Maghribi
Sementara itu madzhab Syafii paling banyak memberikan kontribusi qawa’id fiqhiyyah dalam khazanah fiqh Islam. Pengaruhnya di Indonesia juga cukup meluas, utamanya karya salah seorang faqih besar seperti Jalaludin as-Suyuti yang menulis al-Asybaah wan-Nazhaa’ir dalam beberapa jilid. Jilid 1 berisi tentang qawa’id dasar (asas) sebanyak lima buah sebagaimana yang disebutkan dalam al-Majallah di atas. Qawa’id ini juga cukup popular, bukan saja di indoneisa melainkan juga di wilayah negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk Malaysia dan juga di Timur Tengah. Di kalangan madzhab Syafii, kelima qawa’id ini dianggap sebagai qawa’id yang utama. Kitab 2 al-Asybaah wan-Nazhaa’ir berisi tentang qawa’id umum (‘amm) sebanyak 40 qawa’id, sedang 20 qawa’id lagi masuk dalam kategori diperselisihkan kedudukannya, termuat dalam Jilid 3 – 7.
Secara lengkap, karya-karya tentang qawa’id fiqhiyyah di kalangan madzhab Syafii berdasarkan urutan sejarahnya antara lain adalah:
a)      Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh cIzzuddin cAbdul cAziz ibn  cAbdus Salam  ( 577 - 660 H);
b)      Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi cAbdullah ibn Murahhil, Ibn Wakil al-Syafi ci (716 H);
c)      Majmuuc  al-Mudzhab fil-Qawaacid al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa cid al-cAla’i as-Syafi ci  (761 H);
d)     Al-Asybaah wa al-Nazhaa’ir oleh cAbdul-Wahhab ibn cAli Tajuddin as-Subki  (771 H);
e)      Al-Manthuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah aw al-Qawaacid fi al-Furuuc oleh  Muhammad ibn Bahadur Badruddin az-Zarkashi (794 H);
f)       Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin cUmar ibn cAli al-Ansari, yang lebih terkenal dengan pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
g)      Al-Qawaacid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad ibn cAbdul-Mu’min, al-Hisni (829 H);
h)      Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin cAbdur Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad as-Suyuthi (al-Asyuthi) (804 H); dan
i)        Al-Istighnaa’ fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr ibn Sulaiman al-Bakri
Di atas telah disinggung sedikit tentang karya as-Suyuthi, al-Asybaah wan-Nazhaa’ir, yang cukup masyhudr di kalangan madzhab Syafi’i. Selain karya as-Suyuthi, kitab Majmuu’ul Madzhab karya al-‘Alai jug amendapat perhatian para fuqaha madzhab Syafii, seperti ulasan-ulasan yang diberikan dalam kitab Mukhtashar al-Qawaacid al-‘Alai seperti oleh:
a)      Al-‘Allamah as-Syarkhadi (792 H) yang merupakan kombinasi dengan tulisan al-Isnawi untuk topik yang sama; dan
b)      Al-‘Allamah ibn Khatib ad-Dahsyah yang mengkombinasikan dengan kuliah-kuliah dari al-Isnawi
Di kalangan madzhab Maliki, terdapat setidaknya lima kitab karya para fuqaha mulai dari pertengahan abad ke-7, sejak karya Ibnu Taymiyyah  hingga abad ke-14 Hijriyyah pada periode al-Qari. Mereka antara lain:
a)      Al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu al-cAbbas Ahmad ibn cAbd al-Halim ibn Taymiyyah (661 - 728 H);
b)      Al-Qawaacid al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-Hasan, ibn Qadhi al-Jabal al-Maqdisi (771 H);
c)      Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir al-Fawaa’id  (al-Qawaacid) karya cAbdurrahman Shihab ibn Ahmad ibn Abi Rajab (Ibn Rajab) al-Hanbali (795H);
d)      Al-Qawaacid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771 H) karya Jamaluddin Yusuf ibn Hasan ibn Ahmad ibn cAbdul-Hadi (1309-1359 H); dan
e)      (Qawaacid) Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah calaa Madzhab al-Imaam Ahmad ibn Hanbal oleh Ahmad ibn cAbdullah al-Qari  (1309-1359 H)



b. Kaidah Ushuliyyah
Qawa’id Ushuliyyah atau Kaidah Ushuliyyah merupakan kaidah/bahasan sebagai metodologi untuk memahami atau memperoleh hukum-hukum Syari’ah yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang rinci. Pokok bahasanya berupa dalil-dalil syara’ secara garis besar yang didalamnya terkandung hukum-hukum secara garis besar pula. Banyak digunakan pendekatan filosofis di dalamnya. Seperti : hakikat hukum Syari’ah, sumber-sumber hukum, tujuan hukum, logika teks hukum, posisi manusia dalam hukum, dsb. Ushul Fiqh merupakan bagian terbesar dalam filsafat hukum Islam.
Terdapat tiga metode dalam penyusunan Ushul Fiqh, yaitu metode deduktif, metode induktif, dan metode campuran.
Metode deduktif (Mutakallimin) disebut sebagai metode kaum teolog. Metode ini dikembangkan oleh Asy’ariyah dan Imam Syafi’i sehingga disebut juga metode syafi’iyyah. Penerapkan teori-teori umum didasarkan atas dasar logika tanpa memperhatikan apakah ia bertentangan dengan hukum-hukum furu’ (hukum fiqh pada kasus-kasus tertentu) atau tidak. Dalam metode ini, apakah penetapan teori akan menguatkan atau melemahkan furu’ tidak menjadi permasalahan.
Sebagian besar ulama Syafi’iyah dan Malikiyah menulis dengan menggunakan metode deduktif. Contoh kitab-kitabnya :
1. Al – Mu’tamad karangan Muhammad Husayn ibn Ali Bashriy
2. Al – Ta’rif wa al-Irsyad fi Tartib Turuq al-Ijtihad karangan Abu Bakar Muhammad al-Baqillani al-Maliki
3. Al – Burhan karangan Imam al-Haramyn
4. Al – Mustashfa karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i
5. Al – Ihkam fi Ushul al-Ahkam karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafi’i
Metode induktif (ahnaf) disebut sebagai metode kaum juris (Fuqaha) dimana penetapan teori-teori umum didasarkan pada hukum-hukum furu’. Metode ini dicetuskan oleh Imam Hanafi dengan jalan mengadakan induksi (istiqra’) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan sehingga metode ini mengambil konklusi darinya.
Sebagian besar ulama Hanafiyah menulis dengan menggunakan metode induktif. Contoh kitab-kitabnya :
1. Ma’akhidz al-Syara’i karangan Abu Mansur al-Maturidi
2. Risalah al-Karkhi fi al-Ushul karangan Abu al-Hasan Ubaidillah
3. Ushul al-Jashash karangan Abu Bakar Ahmad
4. Kitab Zayd ‘Ubayd Allah ibn Umar
5. Kitab Syams al-A’immah ibn Ahmad al-Sarkhasyiy
Sedangkan metode campuran adalah metode gabungan antara dedukif dan induktif. Dalam metode ini, penetapan teori-teori umum didasarkan pada logika sekaligus memperhatikan hukum-hukum furu’.
Terdapat beberapa kitab yang ditulis dengan pencampuran kedua metode (deduktif-induktif). Diantaranya :
1. Badi’ al-Nidham karangan Ahmad bin Ali al-Baghdadi
2. Tanqih al-Ushul karangan Shadr al-Syari’at ‘Abd al-Wahhab
3. Kitab Al – Tahrir karangan Kamal al-Din
4. Kitab Jam’al al-Jawami karangan Taj al-Din ‘Abd al-Wahhab al-Subkiy.
C. Macam-macam Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah
a. Kaidah Fiqhiyah ada 5 macam, yaitu:
a).    Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan.
الأمور بمقاصدها “Segala urusan tergantung kepada tujuannya”.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ …{البينة : 5}
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya agama yang lurus …”
Sabda Nabi SAW :
انما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.
Tujuan utama disyari’atkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh :
 Kita setiap hari mandi, namun apabila mandi itu diniati ibadah maka kita akan mendapatkan pahala. Sama hal-nya mengeluarkan harta untuk zakat apabila tidak dibarengi niat, maka nilai ibadahnya akan berkurang atau bahkan tidak ada.

b).    Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan.

اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Dasar Kaidahnya adalah, sabda Nabi Muhammad saw :
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا  وَجَدَ  أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ  شَيْئًا  فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ  مِنْهُ  شَيْءٌ  أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ  مِنَ  الْمَسْجِدِ
حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا {روه مسلم}
Artinya : “Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya.”
Misalnya ada dua orang yang mengadakan utang piutang, dan keduanya berselisih apakah utangnya sudah dibayar atau belum, sedang pemberi utang bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka sumpah pemberi utang itu akan dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin menurut kaidah diatas. Dan hal itu dapat berubah jika yang utang dapat rnemberikan bukti – bukti baru atas pelunasan utangnya.

c).    Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan.
Kaidah ini menjadi sumber adanya rukshah(kemurahan) dan takhfif (keringanan) dalam melaksanakan tuntutan syari’at yang karena sebab atau keadaan tertentu  sangat sulit untuk dilaksanakan, seperti; karena sedang bepergian, sakit, terpaksa, lupa, kurang mampu, dan kesukaran yang umum dialami.
لمشقة تجلب التيسير “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw :
الدِّينُ يُسْرٌ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ {روه البخارى}
” Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah agama yang benar dan mudah “
Firman Allah SWT yang berarti : “Seorang hamba tidak dibebani sesuatu kecuali apa yang sanggup untuk ditanggung”.

d).    Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan.

اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع الامر ضاق
“Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”.
Contoh lain, Misalnya seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
Adapun kaidah ini memiliki beberapa macam kaidah yaitu;
1.      Keadaan darurat itu membolehkan yang dilarang.
2.      Sesuatu yang dibolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratanya.
3.      Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan yang sama.
4.      Menolak kerusakan harus didahulukan dari adamenarik kemaslahatan
5.      Apabila dua kerusakan saling berlawanan (bertemu), maka haruslah lebih diperhatikan yang lebih besar madharatannya dengan melaksanakan yang lebih ringan madharatannya dari keduanya.

e).    Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan.

العادة محكمة“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”.
Ada perbedaan antara al-adah dengan ‘urf. Adat (al-adah) adalah perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf, jika jika mengacu pada “al-ma’ruf”, berarti kebiasaan yang normatif dan semuanya dapat dijadikan hokum, karena tidak ada yang bertentangan dengan al-quran atau hadits.
Contohnya : hukum syari’ah menetapkan  hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya dikembalikan pada kebiasaan.
b. Kaidah ushuliyah ada 2 macam :
a.       Perintah kepada suatu adalah perintah (juga) kepada perantaranya, da bagi perantara, hukumnya sama dengan hukum yang dituju.
b.      Menutup jalan yang menuju ke perbuatan terlarang.

D. Perbedaan dan Persamaan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:[10]
1.    Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2.    Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3.    Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4.    Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5.    Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.

E. Tujuan Mempelajari Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1.    Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.[14]
2.    Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat  dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.[15]
Abdul Wahab Khallaf  dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yangkulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.[16]
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.[17]
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:[19]
1.  Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3. Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.

F.  Hubungan Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, dan Qawaid Fiqhiyah

Hubungan, Fiqh, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh. Antara Fiqh dan Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut umumun khususun min wajhin yakni: Fiqh identik dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu. Syariah sangat lengkap, tidak hanya berisikan dalil-dalil furu', tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip dasar dari hukum syara, seperti: Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhyah.
Syari’ah lebih universal dari Fiqh. Syari’ah wajib dilaksanakn oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian adanya. Syariah seluruhnya pasti benar, berbeda dengan fiqh. Syari'ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah. Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqh adalah “fiqh”, Produk kaidah-kaidah istinbath hukum dari sumber-sumber hukum Islam yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.
Jika kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh mengijtihadkan suatu hukum.



















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Kaidah fiqhiyah itu adalah kaidah-kaidah yang bersifat kully yang di ambil dari dalil-dalil kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’iy) pada mukallaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya. Tujuan pensyari’atan adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak kemadharatan.
Kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah dasar yang di pakai oleh ulama ushul berdasarkan makna dan tujuan ungkapan yang telah di tetapkan oleh para ahli bahasa. Itulah sebagian ulama menyebutkan kaidah ushuliyah sebagai kaidah bahasa karena umumnya dibangun berdasarkan logika bahasa. Adapun termasuk dalam kaidah ushuliyah yakni kaidah perantara. Hal ini karena tidaklah logis bila suatu perbuatan diwajibkan sedangkan perantaranya dilarang, atau sebaliknya, suatu perbuatan dilrang sedangkan perantaranya diperbolehkan.
            Dalam perumusanya, kaidah menggunakan 2 metode, yaitu materiil dan formil. Sedangkan kaidah ushuliyyah menggunakan 3 metode, yaitu deduktif,induktif dan campuran. Banyak terdapat kitab-kitab yang memuat kaidah-kaidah tersebut. Kaidah ushuliyyah merupakan dasar dari pembentukan kaidah fiqhiyah.
Kaidah Fiqhiyah dan Ushuliyyah merupakan bagian dari ilmu fiqh yang perlu diketahui dan dipelajari oleh umat Islam secara lebih lanjut terutama bagi yang ingin memperdalam ilmu fiqh. Melalui pemahaman terhadap kaidah – kaidah tersebut, kita dapat mengetahui aturan-aturan yang terkandung dalam hukum Islam dan diharapkan mampu menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari.

B.     SARAN
Kami sadar bahwa kesempurnaan hanyalah milik ALLAH, oleh karena itu kami sangat mengaharapkan saran dan kritik yang membangun agar kami bisa menjadikan saran tersebut sebagai pedoman dikesempatan mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. Haji dkk, 2000. Ushul Fiqih Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grasindo Persada, cet 1.
Jamaludin, Syakir, 2010. Kuliah Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Surya Sarana Grafika, cet 1.
Muchtar, Kamal dkk, 1995. Ushul Fiqih Jilid 2, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Nata, Abudin, 2003. Masail Al-Fiqhiyah, Bogor: Kencana, edisi 1.
Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Cet ke-4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

1 comment:

Mengukur Kekuatan Gempa

Setiap mendengar berita tentang gempa bumi, apakah kamu memerhatikan unit satuan/skala yang dijadikan ukuran kekuatan sebuah gempa? Baga...